Bank Perkreditan Rakyat yang biasa disingkat dengan BPR adalah salah satu jenis Bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. BPR sudah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani dan Bank Dagang Desa atau Bank Pasar. BPR merupakan lembaga perbankan resmi yang diatur berdasarkan Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam undang-undang tersebutsecara jelas disebutkan bahwa ada dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan BPR Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah tetapi juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, tepat sasaran, karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih sederhana dan sangat mengerti akan kebutuhan nasabah.
Beberapa poin yang perlu mendapatkan perhatian oleh pembina dan pengelola BPR :
1. BPR lebih fokus pada pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Pembahasan tentang masalah pertumbuhan ekonomi dalam skala makro terkait erat dengan upaya pengembangan usaha mikro. Sebagai salah satu agen pertumbuhan ekonomi, UMKM dinilai mempunyai potensi untuk memiliki kontribusi yang besar karena ketahanannya terhadap fluktuasi kondisi ekonomi. Namun demikian, di tengah banyaknya anggaran kredit yang tidak dapat disalurkan, sebagian besar pelaku UMKM masih terkendala pada masalah permodalan dan penyaluran kredit. Penyaluran kredit kepada UMKM melalui mekanisme formal di Indonesia sangat relevan dengan keberadaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam hal ini BPR diharapkan mampu fokus pada pengembangan mikro, kecil dan menengah (UMKM) seperti usaha-usaha kerajinan di kota dan desa, usaha-usaha petani, nelayan, pedagang, peternak, karena akan mampu memperkuat perekonomian nasional dan mampu menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi penganguran.
2. Memanfaatkan teknologi informasi.
Teknologi informasi sudah menjadi pilihan utama dalam menciptakan sistem informasi suatu organisasi yang tangguh dan mampu melahirkan keunggulan kompetitif di tengah persaingan yang semakin ketat dewasa ini. Investasi di bidang teknologi informasi dalam suatu organisasi umumnya dimaksudkan untuk memberikan kontribusi terhadap kinerja individual anggota organisasi dan institusi. Untuk membuat keputusan yang lebih informatif, pengembang sistem perlu memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi tersebut. Dampak globalisasi sudah banyak terlihat pada berbagai aspek kehidupan. Pada perusahaan-perusahaan baik di negara maju dan berkembang makin terasa persaingan yang ketat, penuh ketidakpastian dan kompleks. Menghadapi hal ini perusahaan harus berjuang untuk dapat bertahan di dalam pasar global bahkan harus berusaha agar dapat unggul sebagai pemenang. Keberhasilan usaha mereka sangat tergantung pada seberapa jauh mereka memiliki competitive advantage dan comparative advantage. Dengan adanya perkembangan teknologi dan komunikasi di era global ini diharapkan BPR mampu memanfaatannya dengan baik. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, BPR akan lebih mampu menjalankan operasi usahanya dan pelayanan jasa secara lebih cepat, akurat, efektif dan efisien. BPR juga diharapkan mampu untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi komputer dalam membantu aktivitas manajemen untuk menghasilkan informasi berguna, tepat waktu, akurat, aman, cepat dan mempunyai nilai bagi pengambil keputusan.
3. Memberikan jaminan keamanan dana pihak ketiga.
BPR nampaknya perlu memberikan jaminan dana pihak ke tiga dengan mengikuti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), seperti yang telah dilakukan bank-bank umum. Program ini akan memberikan ketenagan dan rasa aman menyimpan dana masyarakat di BPR dan sekaligus mendorong masyarakat menggunakan jasa BPR. Dengan adanya penjaminan simpanan di BPR oleh LPS, ini merupakan peluang BPR untuk bangkit dan menunjukan bahwa BPR layak dipilih oleh nasabah Karena mayoritas penyimpan di BPR masih di bawah Rp100 juta dan ini akan dijamin sepenuhnya oleh LPS (blanket guarantee atau dijamin 100%).
Tantangan yang perlu mendapatkan perhatian BPR :
1. Persaingan bisnis pada industri perbankan rakyat.
Persaingan bisnis pada industri lembaga keuangan BPR sangat ketat dan berat. BPR memiliki pesaing dari bank umum yang menyelenggarakan program kredit UKM dan BMT yang memilik pangsa pasar pada usaha-usaha kecil. Dalam kapanlagi.com, Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) menilai persaingan usaha antara bank perkreditan rakyat (BPR) dengan bank-bank umum yang bermain dengan pangsa pasar sama cenderung tidak sehat serta merugikan keberadaan BPR. Persaingan tidak sehat itu seperti tercermin dalam regulasi yang ada bahwa bank umum sangat mudah membuka kantor cabang pembantu untuk melayani usaha mikro, sedangkan BPR dibatasi hanya boleh buka satu cabang dalam satu tahun. Dalam hal CAR atau rasio kecukupan modal, BPR minimum harus mengantongi CAR 15%, padahal bank umum hanya dipatok delapan persen atau hanya separuhnya. Bank umum juga dibebaskan menggunakan merek atau nama untuk kantor cabang pembantu (KCP), walau bertentangan, misalnya dalam kasus Dana Simpan Pinjam (DSP) Bank Danamon, sedangkan BPR tidak boleh melakukan hal seperti ini. Selain itu, persaingan tidak sehat itu yang terlihat dari lokasi pembukaan KCP bank umum yang banyak di daerah yang sudah dilayani BPR serta mebiayai nasabah yang sama dilayani BPR, sehingga tujuan meningkatkan akses bagi usaha mikro tidak tercapai. Hal ini perlu disiasati secara kreatif dan inovatif.
2. Penguatan modal.
Masih carut-marutnya perebutan segmentasi pasar antara bank perkreditan rakyat (BPR) dengan bank umum membuat persaingan dua bank itu tidak sehat. Pasalnya, saat ini bank umum ditengarahi mulai gencar membidik segmen mikro seperti halnya yang dilakukan oleh BPR. Diakui nbanyak pengamat perbankan bahwa, permodalan di bank umum lebih kuat dibandingkan dengan BPR, kerena itu penguatan lebih penting daripada memilih akuisisi. Dengan penguatan permodalan di setiap BPR sangat memungkinkan BPR bersangkutan bisa bersaing dengan bank umum dalam hal penyaluran kredit. Dengan penguatan modal ini, diharapkan mampu memiliki likuiditas yang kuat, sehingg amampu memberikan ketenangan pada nasabah.
3. Masalah sumberdaya dan pengembangan serta kesejahteraan.
Menghadapi tingkat persaingan yang makin ketat di sektor keuangan, tidak saja memerlukan modal cukup dan sistem yang canggih, juga perlu terus dilakukan peningkatan kualitas SDM. Untuk itu SDM memiliki peran penting dalam manajemen BPR, seperti integritas, komitmen dan produktivitas. Selain di bidang manajemen, administrasi juga masalah SDM kini diprioritaskan. Bahkan, direktur BPR diberi pelatihan khusus agar nantinya bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
4. Regulasi pemerintah.
Dalam bisnis BPR pun pemerintah memiliki peran menjamin keamanan dana masyarakat dan melindungi pengusaha dalam bentuk regulasi-regulasi. Jangan sampai terjadi seperti brita yang dikutip dari bisnis.com, BPR dirugikan karena bank sentral memberikan kemudahan bank umum dalam melakukan ekspansi usaha. Ekonom Indef Aviliani mengatakan persaingan tidak sehat itu tercermin dari kemudahan regulasi pembukaan kantor cabang pembantu untuk melayani usaha mikro bagi bank umum dibandingkan dengan BPR. "BPR dibatasi hanya boleh buka satu cabang dalam satu tahun, sedangkan bank umum bebas buka kantor cabang pembantu," ujarnya dalam seminar Pranata Pasar Mikrofinance Menuju Kompetisi yang Sehat dalam Perspektif Demokrasi Ekonomi. Dalam http://www.unisosdem.org, perjalanan BPR di Indonesia tersendat-sendat, ada dua problem dalam upaya mengembangkan BPR yaitu Pertama, regulasi yang ketat dalam upaya menumbuhkembangkan BPR. Kedua, adanya tindak kejahatan di tubuh BPR sebagai imbas diabaikannya pengawasan terhadap lembaga ini daripada bank umum dan syariah. BI masih memberlakukan regulasi yang ketat terhadap pihak-pihak yang ingin mengembangkan BPR. Selama ini, BPR sering mendapat kesulitan dalam pendirian kantor-kantor cabang. Meski dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia) disebutkan bahwa BPR akan mendapat kemudahan izin ketika hendak membuka cabang, dalam kenyataannya masih jauh dari ideal karena terkendala regulasi yang ketat. Regulasi ketat itu, misalnya, syarat modal minimal harus Rp2 miliar untuk BPR yang didirikan di DKI Jakarta dan sekitarnya, Rp1 miliar untuk BPR yang didirikan di ibu kota provinsi di luar DKI Jakarta, Rp500 juta untuk BPR yang didirikan di luar DKI Jakarta dan ibu kota provinsi lainnya; dan keharusan memiliki pengalaman mengelola bisnis yang sama minimal dua tahun bagi calon direksi BPR, di mana syarat itu harus dipenuhi oleh 50% anggota direksi. Regulasi yang ketat ini sangat mengganggu pertumbuhan BPR. Padahal, menurut Perhimpunan BPR se-Indonesia (Perbarindo), minat untuk mendirikan BPR di sejumlah daerah, terutama di Jawa dan Bali sangat tinggi. Perbarindo pun, melalui ketua umumnya, Said Hartono, telah meminta agar regulasi itu dilonggarkan untuk memberi peluang pendirian BPR-BPR baru, sebagai upaya menggerakkan roda perekonomian rakyat. Artinya, syarat modal minimal yang mencapai Rp2 miliar itu harus dilonggarkan. Dan, pengalaman dua tahun bagi 50% calon direksi bisa direlaksasi menjadi hanya satu tahun. Dengan relaksasi regulasi, tentu pendirian BPR akan semakin masif. BPR makin banyak berdiri sekaligus membatasi sepak terjang para rentenir yang kerap menjadi alternatif pembiayaan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar